Langsung ke konten utama

BELAJAR MARKETING DARI PENJUAL SATE

Salah satu marketing penjualan sate adalah menulis semua daftar daging yang bisa dibikin sate, mulai dari sapi, ayam hingga kambing. Namun yang ganjil kemudian terjadi saat kamu memesan sate kambing, alasan penjual sate; Dagingnya habis, atau gak ada. Pertanyaan kita balik, kalo begitu kenapa ada tulisan sate kambing, Mas Ate?

Selain sate kambing yang akan jarang kita temui namun namanya terpampang. Sate sapi juga jarang Mas Ate jual. Satu-satunya yang dijual dan dibikin sate oleh Mas Ate adalah sate ayam. Alasan yang biasa digunakan Mas Ate cukup klasik, gak ada atau habis (meski sebenarnya mereka gak pernah menjualnya).

Apa yang dilakukan tukang sate naik haji, eh maaf-maaf, maksudnya tukang sate belum sempat naik haji, adalah salah satu model marketing klasik. Tukang sate Mas Ate, seolah menghadirkan konsep serba ada, pengunjung akan memiliki kesan bahwa tempat Mas Ate menghadirkan segala jenis sate yang serba ada. Meski sebenarnya yang dijualnya cuma satu jenis sate, sate ayam. Inilah marketing. Metode menarik perhatian pengunjung untuk minimal melirik dan kemudian membeli sate Mas Ate.

Sebenarnya Mas Ate tak harus repot-repot menggunakan kesan menjual sate kambing atau sapi. Cukup menuliskan sate ayam saja, pengunjung sudah cukup paham dengan maksud tulisan tersebut. Namun lagi-lagi, Mas Ate tidak sendirian. Kesan serupa juga dihadirkan oleh para penjual sate serupa.

Syahdan, marketing ini selalu hadir. Hal yang harus kita sadari adalah bertanyalah sebelum membeli. Sebelum duduk di kursi, supaya bisa lekas memilih makanan yang akan jadi alternatif pilihan kita -

--------------------

Penulis merupakan pedagang buku di Kafeinbuku. Tulisannya yang lain bisa kamu baca di Medium, kompasiana dan Pigurafilm.

--------------------



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lucifer, Uang, Bank dan Hutang

Buku karya Lucifer, "Di ambang Kehancuran terbesar ekonomi: Masa lalu Uang dan Masa depan Dunia" terbitan Pustaka Pohon Bodhi, 2007. Menjelaskan bahwa dongeng 5% bunga yang telah digadang-gadang pada tahun 1024 di Inggris dengan digantikannya uang emas oleh uang kertas dan koin pada akhirnya mengubah banyak hal utamanya prespektif manusia akan alat tukar tersebut dan masa depan yang diyakini akan sedikit berbeda. Lucifer, memberitahu bahwa, saat uang kertas dan koin sudah begitu berharga. Manusia sudah begitu terbuai dan bergantung pada uang kertas dan koin, pada akhirnya, uang tersebut akan digantikan dengan bentuk uang digital. Di mana manusia, tidak lagi menggunakan uang kertas dan koin sebagai bentuk transaksi. Bagi Beta, buku yang diterjemahkan oleh Alwie pada 2007 ini cukup menarik. Setidaknya, Lucifer sedang memberitahukan sebuah informasi penting tentang masa depan akan seperti apa. Singkat kata, uang kertas dan koin akan diubah sistemnya, di mana semua itu telah dire

PULANG RANTAU DAN PERTANYAAN YANG SUDAH TIDAK RELEVAN LAGI DITANYAKAN DI ZAMAN SEKARANG -

Bila kamu pulang kampung lalu ada orang tanya ke kamu, "sudah nikah, blm?", "Kerja di mana?", "Punya rumah berapa?" "Anak sudah berapa?" Percayalah, bahwa orang yang bertanya semestinya tinggal dikisaran tahun 1980-an. Dan abadi di sana. Pertanyaan untuk orang merantau sekarang bukan itu, tapi "apa cerita perjalanan mu di rantau?", "Kuliner di sana gimana?", "Kalo dilihat-lihat potensi pekerjaan apa yang rasanya bagus dikembangkan di sana?", "Kehidupan sosial di sana menurutmu gimana?" Itu jauh lebih menyenangkan untuk didengarkan ketimbang cerita soal punya apa di daerah rantau dan pulang pura-pura jadi orang kaya dadakan, jadi senter clas, padahal hidup di rantau belum tentu bahagia, belum tentu juga mudah, ada tuntutan hidup dan gaya hidup yang seringkali terabaikan untuk kita cermati 😁😁 Kita semestinya sudah menanggalkan pertanyaan Materialisme, tentang punya apa, ke pengalaman sosial (social experien

PEREMPUAN BUGIS DAN SEPIRING NASI KUNING-

Di kepala saya, saat menyebutkan nasi kuning, entah mengapa yang tergambar dibenak saya adalah seorang perempuan bugis dengan tangan halus menanak nasi. Entah mengapa pula, wajah seorang perempuan Bugis begitu melekat dibenak saya bila menyebut nasi kuning. Tampaknya, imaji perempuan yang halus wajahnya, yang putih kulitnya, yang merah merekah bibirnya dan hitam rambutnya-diikat ke belakang telah melekat dibenak saya. Semenjak kecil, hanya nasi kuning perempuan Bugislah yang seolah melekat seperti halnya prangko yang menempel di selembar surat. Saat membuat nasi kuning, mereka seolah memiliki resep rahasia. Di balik lembut tangan halus perempuan Bugis, terdapat rahasia masakan. Bila orang Padang membanggakan Barandang Bundonyo, dan menjadi tumpuhan kerinduaan dan kenangan bila di rantau. Maka, yang di kenang dari perempuan Bugis adalah sepiring nasi kuning. Tak begitu jelas, apakah yang memperkenalkan nasi yang berwarna kuning ke Maluku merupakan perempuan-perempuan Bugis, ataukah buka