Langsung ke konten utama

PEREMPUAN BUGIS DAN SEPIRING NASI KUNING-

Di kepala saya, saat menyebutkan nasi kuning, entah mengapa yang tergambar dibenak saya adalah seorang perempuan bugis dengan tangan halus menanak nasi. Entah mengapa pula, wajah seorang perempuan Bugis begitu melekat dibenak saya bila menyebut nasi kuning. Tampaknya, imaji perempuan yang halus wajahnya, yang putih kulitnya, yang merah merekah bibirnya dan hitam rambutnya-diikat ke belakang telah melekat dibenak saya. Semenjak kecil, hanya nasi kuning perempuan Bugislah yang seolah melekat seperti halnya prangko yang menempel di selembar surat. Saat membuat nasi kuning, mereka seolah memiliki resep rahasia. Di balik lembut tangan halus perempuan Bugis, terdapat rahasia masakan. Bila orang Padang membanggakan Barandang Bundonyo, dan menjadi tumpuhan kerinduaan dan kenangan bila di rantau. Maka, yang di kenang dari perempuan Bugis adalah sepiring nasi kuning.

Tak begitu jelas, apakah yang memperkenalkan nasi yang berwarna kuning ke Maluku merupakan perempuan-perempuan Bugis, ataukah bukan? Tetapi, bila ditanyai siapa yang memperkenalkan nasi kuning terlezat yang pernah saya rasa? maka jawabnya adalah, Perempuan Bugis.

Bondan Winarno Dalam Bukunya, 100 Masakan Tradisonal Nusantara, menyebutkan bahwa Nasi Kuning merupakan masakan khas dari Jawa Timur. Meski demikian di Ambon dan Makassar, Nasi Kuning banyak dijajakkan. Di Makassar, Nasi Kuning diperkenalkan oleh Perempuan Jawa Timur yang bersuami Makassar (Hlm: 460).

Bila kita menelisik lagi, boleh jadi nasi kuning yang merupakan makanan khas di Jawa Timur tersebut dibawa ke Makassar oleh perempuan-perempuan Jawa Timur, mereka berasimilasi dengan penduduk lokal di Makassar lewat tali pernikahan, dan pada Akhirnya Nasi Kuning dibawa lagi ke Ambon oleh perempuan dari Makassar. Lidah orang Ambon, lebih menyukai menyebut kata Bugis untuk mengalamatkan dan menyeragamkan orang-orang Sulawesi Selatan dengan Kata Bugis. Seperti halnya lidah orang Ambon menyeragamkan orang Sulawesi Tenggara dengan kata Buton.

Yuni Maryuni, Dosen saya di Universitas Pattimura Ambon (2012) menyebutkan bahwa, Nasi Kuning dan seiris ikan sambal cakalang di Ambon, terasa lebih gurih dan enak di banding nasi kuning yang terdapat di kotanya di Solo. Lidah bu Yuni, adalah representasi dari lidah Jawa.

Dengan pola migrasi orang-orang Sulawesi dan Maluku ke tempat yang lebih ke-timur dewasa ini, kemungkinan, riwayat nasi kuning akan terus hidup dan diperkenalkan melewati batas-batas laut dan selat.

Dalam bukunya, Jejak Portugis di Maluku Utara, Irza Ernita Djafar (2008), melihat bahwa peningggalan berupa budaya merupakan peninggalan yang paling lama dan susah menghilang dikehidupan, Study Irza, Terfokus pada Bagaimana wajah Sejarah yang tergambar dari masyarakat Ternate. Warisan Budaya Portugis berupa masakan melekat pada citarasa dan lidah orang Ternate. Budaya masakan semacam Bubengka, Acar dan sebagainya itu pada akhirnya dianggap sebagai bagian dari masyarakat Ternate. Padahal Makanan-makanan itu adalah makanan dari tanah Eropa, yang kemudian tersaji di meja-meja makan di setiap rumah setelah masyarakat lokal melakukan kontak dengan masyarakat kulit putih Eropa (dalam hal ini, Portugis). Dan tampaknya, Nasi kuning, yang boleh kita sebutkan diperkenalkan perempuan Bugis adalah salah satu warisan yang seolah apsen dari penglihatan kita.

Mama-mama di Ambon dengan lidah mereka pun menganggap bahwa Nasi Kuning adalah makanan pembuka dikala pagi, meski varian makan pagi yang paling primadona adalah roti di Ambon. Tapi Nasi Kuning punya tempat dan pilihan lain. namun demikian, Nasi Kuning tak lantas hanya ada dikala pagi sebagai varian alternatif selain roti yang begitu digemari di Ambon. Bondan Winarno, mencatat bahwa Nasi Kuning banyak dijajakkan dikala malam di Ambon (Hlm: 460) hal ini menandaskan bahwa Nasi Kuning adalah menu makanan yang muncul bersamaan dengan matahari yang akan terbit dikala pagi, dan kembali akan muncul lagi dikala Matahari terbenam di ufuk barat.

Kini, Nasi Kuning bukan melulu milik perempuan Bugis saja. Menu Nasi Kuning telah cukup mengakar di Ambon. Siapapun ia, dapat dengan mudah menyajikan Nasi dengan berbahan dasar santan ini di atas meja. 


Selamat Menyantap Nasi Kuning



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lucifer, Uang, Bank dan Hutang

Buku karya Lucifer, "Di ambang Kehancuran terbesar ekonomi: Masa lalu Uang dan Masa depan Dunia" terbitan Pustaka Pohon Bodhi, 2007. Menjelaskan bahwa dongeng 5% bunga yang telah digadang-gadang pada tahun 1024 di Inggris dengan digantikannya uang emas oleh uang kertas dan koin pada akhirnya mengubah banyak hal utamanya prespektif manusia akan alat tukar tersebut dan masa depan yang diyakini akan sedikit berbeda. Lucifer, memberitahu bahwa, saat uang kertas dan koin sudah begitu berharga. Manusia sudah begitu terbuai dan bergantung pada uang kertas dan koin, pada akhirnya, uang tersebut akan digantikan dengan bentuk uang digital. Di mana manusia, tidak lagi menggunakan uang kertas dan koin sebagai bentuk transaksi. Bagi Beta, buku yang diterjemahkan oleh Alwie pada 2007 ini cukup menarik. Setidaknya, Lucifer sedang memberitahukan sebuah informasi penting tentang masa depan akan seperti apa. Singkat kata, uang kertas dan koin akan diubah sistemnya, di mana semua itu telah dire

PULANG RANTAU DAN PERTANYAAN YANG SUDAH TIDAK RELEVAN LAGI DITANYAKAN DI ZAMAN SEKARANG -

Bila kamu pulang kampung lalu ada orang tanya ke kamu, "sudah nikah, blm?", "Kerja di mana?", "Punya rumah berapa?" "Anak sudah berapa?" Percayalah, bahwa orang yang bertanya semestinya tinggal dikisaran tahun 1980-an. Dan abadi di sana. Pertanyaan untuk orang merantau sekarang bukan itu, tapi "apa cerita perjalanan mu di rantau?", "Kuliner di sana gimana?", "Kalo dilihat-lihat potensi pekerjaan apa yang rasanya bagus dikembangkan di sana?", "Kehidupan sosial di sana menurutmu gimana?" Itu jauh lebih menyenangkan untuk didengarkan ketimbang cerita soal punya apa di daerah rantau dan pulang pura-pura jadi orang kaya dadakan, jadi senter clas, padahal hidup di rantau belum tentu bahagia, belum tentu juga mudah, ada tuntutan hidup dan gaya hidup yang seringkali terabaikan untuk kita cermati 😁😁 Kita semestinya sudah menanggalkan pertanyaan Materialisme, tentang punya apa, ke pengalaman sosial (social experien