Langsung ke konten utama

KISAH KECIL DARI POHON OAK

POHON OAK. Sewaktu masih SMP di Kendari, saya sempat baca buku yang berkisah tentang Pohon Oak dan rumput di kaki bukit. Pohon Oak menganggap bahwa dirinya paling kuat, kokoh dan paling gagah di kaki bukit itu, dia tinggi menjulang, tampak perkasa dan sangat memukau. Hal yang berbeda adalah rumput yang tepat berada di bawah Pohon Oak itu, tak lebih dari rerumputan yang tak berarti apa-apa. Tapi, sebuah ujian datang, angin kencang datang ke bukit itu dan menghantam semua yang ada. Pohon Oak yang perkasa, kuat dan kokoh patah, dia tak lagi terlihat gagah, dia nelangsa lagi menyedihkan. Hal berbeda terlihat pada rumput hijau itu, dia biasa saja. Tak mesti menyombongkan diri dan bilang dia masih hidup, masih kokoh berdiri, dan masih tak tercabut dari akarnya.

Dan saya kira, dalam musim Covid-19 ini, yang paling merasa dampak adalah orang-orang yang terbiasa memegang uang besar. Yang roda hidupnya perhari bisa pegang 400ribu hingga puluhan juta. Mereka paling merasa amukan angin menghantam bukit 😊 bila Covid-19 bertahan hingga akhir tahun. Kemungkinan besar banyak pohon oak yang bukan cuma gulung tikar tapi sudah mempersiapkan jual rugi barang dagangannya untuk menutupi sewa kios, ruko atau mungkin tempat.

Kita, memang gak pernah mempersiapkan apa-apa kalo badai musibah datang. Kita sama sekali tidak menyiapkan apapun di masa depan. Kita selalu menganggap bahwa hidup akan selalu bernasib baik. Selalu beruntung. Selalu baik-baik saja. Padahal hidup tak selalu seperti itu. Adakalanya, nasib kita dibergilirkan, dan saat hal itu datang seperti sekarang ini, kita sudah siap untuk bertahan dari amuk musibah tersebut.

Artinya, kita memang harus memiliki dana darurat untuk mempersiapkan sekali waktu, kita tak bekerja aktif. Dana tersebut akan menolong kita, entah tiga bulan, enam bulan, sembilan bulan atau barangkali satu tahun. Dana darurat tersebut, merupakan taksiran jumlah pengeluaran kita dalam sebulan. Yang bisa kita cicil untuk tiga, enam, sembilan dan satu tahun.

Pada masa sekarang-sekarang ini, pengalaman hidup Oak yang menganggap kuat akhirnya patah juga. Dalam konteks hidup kita, banyak orang yang berpendapatan sangat banyak, namun saat badai musibah datang, apakah dia siap untuk semua itu? Lagi-lagi, nasehat lawas sering mengingatkan kita "bukan seberapa banyak uang yang kita dapat. Tapi seberapa uang tersebut kita manfaatkan". "Pintar-pintarlah mengelola keuangan. Bijaklah dan berbelanja"

Kira-kira ada cerita apalagi di dalam buku itu yah, selain kisah tentang pohon oak dan rumput di kaki bukit? Lagi mencoba ingat-ingat 🍺🍜

---------------

Tulisan yang lain bisa kamu baca di sini. Dan untuk tulisan review film, bisa kamu baca di sini.

---------------

Penulis merupakan seorang pengajar, pedagang buku online (Kafeinbuku) dan seorang penulis blog




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lucifer, Uang, Bank dan Hutang

Buku karya Lucifer, "Di ambang Kehancuran terbesar ekonomi: Masa lalu Uang dan Masa depan Dunia" terbitan Pustaka Pohon Bodhi, 2007. Menjelaskan bahwa dongeng 5% bunga yang telah digadang-gadang pada tahun 1024 di Inggris dengan digantikannya uang emas oleh uang kertas dan koin pada akhirnya mengubah banyak hal utamanya prespektif manusia akan alat tukar tersebut dan masa depan yang diyakini akan sedikit berbeda. Lucifer, memberitahu bahwa, saat uang kertas dan koin sudah begitu berharga. Manusia sudah begitu terbuai dan bergantung pada uang kertas dan koin, pada akhirnya, uang tersebut akan digantikan dengan bentuk uang digital. Di mana manusia, tidak lagi menggunakan uang kertas dan koin sebagai bentuk transaksi. Bagi Beta, buku yang diterjemahkan oleh Alwie pada 2007 ini cukup menarik. Setidaknya, Lucifer sedang memberitahukan sebuah informasi penting tentang masa depan akan seperti apa. Singkat kata, uang kertas dan koin akan diubah sistemnya, di mana semua itu telah dire

PULANG RANTAU DAN PERTANYAAN YANG SUDAH TIDAK RELEVAN LAGI DITANYAKAN DI ZAMAN SEKARANG -

Bila kamu pulang kampung lalu ada orang tanya ke kamu, "sudah nikah, blm?", "Kerja di mana?", "Punya rumah berapa?" "Anak sudah berapa?" Percayalah, bahwa orang yang bertanya semestinya tinggal dikisaran tahun 1980-an. Dan abadi di sana. Pertanyaan untuk orang merantau sekarang bukan itu, tapi "apa cerita perjalanan mu di rantau?", "Kuliner di sana gimana?", "Kalo dilihat-lihat potensi pekerjaan apa yang rasanya bagus dikembangkan di sana?", "Kehidupan sosial di sana menurutmu gimana?" Itu jauh lebih menyenangkan untuk didengarkan ketimbang cerita soal punya apa di daerah rantau dan pulang pura-pura jadi orang kaya dadakan, jadi senter clas, padahal hidup di rantau belum tentu bahagia, belum tentu juga mudah, ada tuntutan hidup dan gaya hidup yang seringkali terabaikan untuk kita cermati 😁😁 Kita semestinya sudah menanggalkan pertanyaan Materialisme, tentang punya apa, ke pengalaman sosial (social experien

PEREMPUAN BUGIS DAN SEPIRING NASI KUNING-

Di kepala saya, saat menyebutkan nasi kuning, entah mengapa yang tergambar dibenak saya adalah seorang perempuan bugis dengan tangan halus menanak nasi. Entah mengapa pula, wajah seorang perempuan Bugis begitu melekat dibenak saya bila menyebut nasi kuning. Tampaknya, imaji perempuan yang halus wajahnya, yang putih kulitnya, yang merah merekah bibirnya dan hitam rambutnya-diikat ke belakang telah melekat dibenak saya. Semenjak kecil, hanya nasi kuning perempuan Bugislah yang seolah melekat seperti halnya prangko yang menempel di selembar surat. Saat membuat nasi kuning, mereka seolah memiliki resep rahasia. Di balik lembut tangan halus perempuan Bugis, terdapat rahasia masakan. Bila orang Padang membanggakan Barandang Bundonyo, dan menjadi tumpuhan kerinduaan dan kenangan bila di rantau. Maka, yang di kenang dari perempuan Bugis adalah sepiring nasi kuning. Tak begitu jelas, apakah yang memperkenalkan nasi yang berwarna kuning ke Maluku merupakan perempuan-perempuan Bugis, ataukah buka