Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2020

ORANG KAYA DI SEBELAH RUMAH

Apakah kamu pernah membaca buku The millionaire next door? dalam buku itu, Thomas dan William menyuguhkan banyak hal menarik untuk direnungkan. Penelitian mereka tentang orang kaya di Amerika nyatanya hidup dengan gaya hidup serba sederhana. Para miliuner tersebut, jarang bahkan gak pernah makan makanan enak banget dan mahal seperti kebanyakan orang. Mereka juga jarang banget berbaur dengan masyarakat umum yang gaya bicaranya suka-suka gue (gak mikir perasaan orang), mereka habiskan banyak waktu buat olahraga saat pagi, rumah mereka juga gak terlihat mewah-mewah amat. Tak jarang tetangganya sama sekali gak menyangka bila dengan pola makan, olahraga dan rumah yang sederhana tersebut adalah orang kaya. Saat keluar rumah, mereka pun mengenakan pakaian yang serba sederhana, baju oblong polos, celana jeans sobek dan sepatu atau sendal. Mereka tak tampak sama sekali sebagai orang kaya. Namun, orang-orang yang menampakkan kekayaan mereka di Amerika, boleh jadi adalah orang sebaliknya. Mereka

Ngalim: Refleksi budaya kita yang seolah-olah alim

Pada mulanya, dia memelihara kumis, lalu jenggot di dagunya tumbuh. Lalu, dia memelihara keduanya. Tak ada alasan religius yang membuatnya memelihara hal itu, Namun karena malas merapikan saja yang membuat hal itu tumbuh. Di lain waktu, dia kemudian mencari-cari pembenaran religius untuk memelihara jenggot. Seiring waktu, jenggot di dagunya memutih. Dia tampak sepuh dan Ngalim. Beberapa mengira dia si alim berbudi luhur, selayaknya kisah-kisah komik silat di mana lelaki tua sepuh berjenggot putih akan memberi petuah dan kebijakan kepada yang muda. seringkali orang terperdaya dengan image itu. Pandangan itu. Penglihatan yang demikian. Bila ditelisik lebih dalam. Kita kemudian tahu, bahwa tampilan luar seseorang sama sekali tak menampakkan apa-apa kecuali kita mengetahui isi kepala dan bagaimana dia berlaku. Itu mungkin yang hendak disampaikan Prie GS. Religius memang tak selalu tampak seolah-olah religius, kita akan mengetahuinya saat kita berani menggalinya. Boleh jadi seseorang mengen

DEFINISI SUKSES WARREN BUFFETT - .

Dalam wawancaranya, Warren Buffett sempat ditanya, "Apa definisi sukses menurutmu, Buffett?" dengan cepat, dia lantas menjawab, "sukses bagi saya adalah saat kamu berusia 60 tahun hingga 75 tahun, kemudian orang-orang yang ingin kamu cintai lantas mencintaimu, itu sukses menurut saya" Warren Buffett, tidak berbicara tentang sukses yang punya berkelimpahan uang, Warren tidak sedang berbagai bahwa punya uang banyak adalah sukses. Punya mobil mewah, punya rumah gedongan, punya permatan, berlian, emas atau apalah itu. Tidak. Warren Buffett menyebutkan bahwa sukses adalah bisa mencintai dan kamu dicintai, entah keluargamu, teman dan sahabat. Coba bandingkan hal itu dengan kita. Berapa banyak orang di luar sana, mati-matian menjadi singa, macan, monster jalanan kemudian saat mereka tua, mereka hendak dilupakan anak mereka? Berapa banyak orang di luar sana, yang kerja keras bagai kuda, namun saat usia tua, satu persatu anaknya keluar rumah dan lupa orangtuanya? Berapa bany

Foto

Kalau kalian melihat foto kanak-kanak Kim Jong Un, Donald Trump atau tokoh-tokoh sumbu pendek lainnya di dunia ini, kalian tak akan pernah menyangka bahwa anak-anak dalam foto tersebut kemudian tumbuh jadi manusia-manusia  paling menyebalkan. Kita suka ketipu dengan wajah polos mereka dalam lembar foto-foto, saat masih kanak-kanak. Dan saat mereka dewasa, punya kekuasaan dan semisalnya, mereka kemudian menjadi monster yang tak segan-segan membunuh orang lain tanpa iba sedikitpun. Pertanyaan kita balik, mengapa manusia bisa menjadi monster saat mereka dewasa? Dalam skala yang lebih kecil, misalnya keluarga. Bapak yang keras dan bersumbu pendek akan jadi tokoh monster bagi benak anak-anaknya. Tokoh monster ini, kemudian mengalami pergulatan hidup yang biasanya saat mereka menua, tiba-tiba jadi semacam ahli sufi, sosok selamat dari mulut buaya dan menjalani kisah hidup dengan lues, seolah-olah demikian. Namun, pada prakteknya, entah, Donald Trump, Kim Jong Un atau tokoh sentral dalam skal