Langsung ke konten utama

LEIDENISME

LEIDENISME. Di Universitas Leiden, ada jurusan Indologi, di sana dua sosok paling berpengaruh untuk mempelajari bagaimana watak, karakter hingga apa-apa saja tentang Indonesia dan Asia Tenggara dibicarakan seperti halnya gosip di kampung-kampung yang menyebar liar 😂 Nah, dua tokoh yang berpengaruh untuk Indologi adalah Snouck Hurgronje si orientasi Aceh, dan Van Vollenhoven si Ahli hukum adat Jawa. Satu yang terlahir dari dua sosok ini adalah Van Luer. Van Vollenhoven memperkenalkan pemikiran Max Weber, si lelaki pesakitan dari Jerman itu kepada Van Luer. Dari sanalah, Van Luer kemudian mempelajari dengan sangat teliti pemikiran Weber.

Cara Van Leur melihat Asia Tenggara, banyak terpengaruh oleh pikiran Waber dan aliran Leiden (Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven). Sebenarnya di negeri kipas angin ini (Plesetan dari  Kincir angin) terdapat dua Mazhab untuk melihat rupa Indonesia dari kacamata kuda ala Negeri kipas angin. Selain Mazhab Leiden ada juga Mazhab Amsterdam (soal Mazhab Amsterdam, nantilah kalo ada waktu kita cuap-cuap) dan kedua Mazhab ini saling unjuk gigi untuk mendapatkan perhatian Pemerintah maupun perusahaan swasta. Tujuannya cukup sederhana: Proposal, penelitian dan tulisan. Dan Van Luer, kemudian terlibat dalam penerbitan seri buku Geschiedenis van Nederlandsch indie yang disusun sebagai legitimasi sejarah terhadap Belanda di Indonesia.

Apa yang kemudian menarik dari Van Luer yang lantas membuat dia mendapat perhatian Eropa? Mmm... Setidaknya berkat tulisan-tulisannya soal apa yang terjadi di Asia Tenggara, sejarawan Eropa, semacam Meilink-Roelofsz, Neils Steensgard, Kristof Glamann, mulai memperhatikan karya-karya Van Luer sebagai respon positif atas apa yang ditulisnya.

Singkat kata, wacana sejarah Indonesia yang dilihat hari ini, kemungkinan besar adalah konteks sejarah dengan Mazhab Leiden. Entah kebijakan, tata aturan, sistem pajak, pertanahan, pengelolaan hutan, pertambangan hingga barangkali hukum pelayaran, semuanya adalah cara pandang Mazhab Leiden: LEIDENISME. Mmmm... Dan bila kamu bertanya, lalu bagaimana dengan Mazhab Amsterdam? Nampak kita nyari mie ayam dulu, kayaknya 😂😂😂

-----------

Catatan:

Hari Senin kalo kamu ke kampus tanya ke dosen kamu tempat jual sate Madura di mana? Jangan tanya Mazhab apa, nanti selain semprot, kamu juga akan dicap aneh-aneh 😂😂 apalagi tanya Mazhab Leiden atau Mazhab Amsterdam, urusan bisa gaswat (Plesetan, dari kata gawat) diputar 10 tahun kuliah kamu -



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lucifer, Uang, Bank dan Hutang

Buku karya Lucifer, "Di ambang Kehancuran terbesar ekonomi: Masa lalu Uang dan Masa depan Dunia" terbitan Pustaka Pohon Bodhi, 2007. Menjelaskan bahwa dongeng 5% bunga yang telah digadang-gadang pada tahun 1024 di Inggris dengan digantikannya uang emas oleh uang kertas dan koin pada akhirnya mengubah banyak hal utamanya prespektif manusia akan alat tukar tersebut dan masa depan yang diyakini akan sedikit berbeda. Lucifer, memberitahu bahwa, saat uang kertas dan koin sudah begitu berharga. Manusia sudah begitu terbuai dan bergantung pada uang kertas dan koin, pada akhirnya, uang tersebut akan digantikan dengan bentuk uang digital. Di mana manusia, tidak lagi menggunakan uang kertas dan koin sebagai bentuk transaksi. Bagi Beta, buku yang diterjemahkan oleh Alwie pada 2007 ini cukup menarik. Setidaknya, Lucifer sedang memberitahukan sebuah informasi penting tentang masa depan akan seperti apa. Singkat kata, uang kertas dan koin akan diubah sistemnya, di mana semua itu telah dire

PULANG RANTAU DAN PERTANYAAN YANG SUDAH TIDAK RELEVAN LAGI DITANYAKAN DI ZAMAN SEKARANG -

Bila kamu pulang kampung lalu ada orang tanya ke kamu, "sudah nikah, blm?", "Kerja di mana?", "Punya rumah berapa?" "Anak sudah berapa?" Percayalah, bahwa orang yang bertanya semestinya tinggal dikisaran tahun 1980-an. Dan abadi di sana. Pertanyaan untuk orang merantau sekarang bukan itu, tapi "apa cerita perjalanan mu di rantau?", "Kuliner di sana gimana?", "Kalo dilihat-lihat potensi pekerjaan apa yang rasanya bagus dikembangkan di sana?", "Kehidupan sosial di sana menurutmu gimana?" Itu jauh lebih menyenangkan untuk didengarkan ketimbang cerita soal punya apa di daerah rantau dan pulang pura-pura jadi orang kaya dadakan, jadi senter clas, padahal hidup di rantau belum tentu bahagia, belum tentu juga mudah, ada tuntutan hidup dan gaya hidup yang seringkali terabaikan untuk kita cermati 😁😁 Kita semestinya sudah menanggalkan pertanyaan Materialisme, tentang punya apa, ke pengalaman sosial (social experien

PEREMPUAN BUGIS DAN SEPIRING NASI KUNING-

Di kepala saya, saat menyebutkan nasi kuning, entah mengapa yang tergambar dibenak saya adalah seorang perempuan bugis dengan tangan halus menanak nasi. Entah mengapa pula, wajah seorang perempuan Bugis begitu melekat dibenak saya bila menyebut nasi kuning. Tampaknya, imaji perempuan yang halus wajahnya, yang putih kulitnya, yang merah merekah bibirnya dan hitam rambutnya-diikat ke belakang telah melekat dibenak saya. Semenjak kecil, hanya nasi kuning perempuan Bugislah yang seolah melekat seperti halnya prangko yang menempel di selembar surat. Saat membuat nasi kuning, mereka seolah memiliki resep rahasia. Di balik lembut tangan halus perempuan Bugis, terdapat rahasia masakan. Bila orang Padang membanggakan Barandang Bundonyo, dan menjadi tumpuhan kerinduaan dan kenangan bila di rantau. Maka, yang di kenang dari perempuan Bugis adalah sepiring nasi kuning. Tak begitu jelas, apakah yang memperkenalkan nasi yang berwarna kuning ke Maluku merupakan perempuan-perempuan Bugis, ataukah buka