Langsung ke konten utama

Gaji 1,5 juta. Pengen nikah dan punya rumah

 

Beta teman cerita ihwal gajinya yang 1,5juta di rumah makan. 
Dia mengeluh "Lah, kapan Beta bisa nikah kalau gaji saja kecil begini?" Saat dengar hal itu, Beta diam.

"Belum lagi punya rumah! Kapan Beta bisa punya rumah kalo begitu?" Keluhnya lagi. Beta semakin diam.


****


Hampir semua anak muda akan mengeluhkan soal gaji (kecuali situ sultan). Terlebih lagi bila desakan untuk nikah dan pengen punya rumah sudah dirasa cukup mendesak. Padahal bila dipikir-pikir sebenarnya nggak ada yang benar-benar mendesak. Dia-nya saja yang membuat pagar untuk dirinya sendiri. Harus nikah padahal tabungan saja gak punya. Pengen punya rumah, eh, hutang cicilan motor belum lunas. Jadilah apa yang terjadi. Gaji 1,5juta dirasa tidak cukup. Tapi karena Beta tinggal di kampung lembah dan kampung lembah adalah sebuah laboratorium Manarik maka, Beta mau cerita soal menikah. Di kampung lembah, banyak lho yang menikah tanpa harus punya banyak uang. Tanpa harus punya puluhan juta. Gak, gak seperti itu. Di kampung lembah banyak yang nikah tanpa mengeluarkan banyak biaya. Kelas ekonomi menengah ke bawah membikin pernikahan lebih sederhana dan sakral. Ada yang ijab kabul dengan maharnya ratusan ribu rupiah. Ada yang 6juta. Ada juga yang 10juta. Ketakutan Beta teman soal nikah sebenarnya cuma ketakutan yang berasal dari hantu di dalam kepalanya yang bergentayangan. Kekhawatiran yang muncul dan meluap-luap. Nyata menikah sebenarnya hanya butuh komunikasi, tak harus banyak biaya, cukup kesepakatan bersama untuk ijab kabul dan sedikit walimahan. Gak lebih. Yang makan biaya itu kalo gengsi dan mau dibuat mewah. Pertanyaan paling krusial bukan nikahnya, tapi sudah punya pasangan belum. Sudah yakin mau nikah belum. Sebab tidak sedikit yang nikah belum sampai 10 tahun sudah bubar dan milih jalan masing-masing. Kamu gak maukan hal itu terjadi.


Lalu, soal rumah. Hey, sobat yang jiawanya terlalu kerdil untuk bicara rumah 😂. Jadi begini, bila kamu merasa bahwa kamu gak bisa beli rumah. Ya jangan dibeli dulu, begitu saja kok repot (Bacanya pakai nada Gus Dur). Tinggal dulu di rumah mertua. Atau kalau kamu gengsian, ya sudah ngekos. Kalau ngekos juga masih dirasa belum cukup dan mampu, balik ke rumah mu dulu, tinggal sampai anak pertama dan kedua lahir--sembari kumpulin uang untuk beli tanah dan bangun rumah. Saat kamu punya anak ketiga, rumah kamu sudah punya. Perkara lebih berat dari punya rumah adalah punya kerja dan mampu mempertahankan gaya hidup sederhana. Bila kita ibaratkan nih, rumah atau memiliki rumah itu perangkat keras. Sedangkan isi di dalam rumah (Yakni pikiran, gaya hidup dan watak) adalah perangkat lunaknya. Perangkat keras boleh sederhana, perangkat lunaknya ini yang biasanya jadi masalah, dikemudian hari. Watak diri kita dan pasangan kita, pikiran kita dan pasangan kita, begitu juga gaya hidup kita dan pasangan kita, yang kemudian akan menentukan seperti apa rumah tangga itu. Jadi, perkara punya rumah itu sederhana yang berat itu isi dari yang punya rumah.


****


Beta teman masih mengeluh tentang gajinya yang dianggap tak seberapa. Dan Beta masih diam mendengarkan keluhannya itu. Menikmati seorang muda, beringas dan trengginas sedang berbagi keluh kesah hidupnya -



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lucifer, Uang, Bank dan Hutang

Buku karya Lucifer, "Di ambang Kehancuran terbesar ekonomi: Masa lalu Uang dan Masa depan Dunia" terbitan Pustaka Pohon Bodhi, 2007. Menjelaskan bahwa dongeng 5% bunga yang telah digadang-gadang pada tahun 1024 di Inggris dengan digantikannya uang emas oleh uang kertas dan koin pada akhirnya mengubah banyak hal utamanya prespektif manusia akan alat tukar tersebut dan masa depan yang diyakini akan sedikit berbeda. Lucifer, memberitahu bahwa, saat uang kertas dan koin sudah begitu berharga. Manusia sudah begitu terbuai dan bergantung pada uang kertas dan koin, pada akhirnya, uang tersebut akan digantikan dengan bentuk uang digital. Di mana manusia, tidak lagi menggunakan uang kertas dan koin sebagai bentuk transaksi. Bagi Beta, buku yang diterjemahkan oleh Alwie pada 2007 ini cukup menarik. Setidaknya, Lucifer sedang memberitahukan sebuah informasi penting tentang masa depan akan seperti apa. Singkat kata, uang kertas dan koin akan diubah sistemnya, di mana semua itu telah dire

PULANG RANTAU DAN PERTANYAAN YANG SUDAH TIDAK RELEVAN LAGI DITANYAKAN DI ZAMAN SEKARANG -

Bila kamu pulang kampung lalu ada orang tanya ke kamu, "sudah nikah, blm?", "Kerja di mana?", "Punya rumah berapa?" "Anak sudah berapa?" Percayalah, bahwa orang yang bertanya semestinya tinggal dikisaran tahun 1980-an. Dan abadi di sana. Pertanyaan untuk orang merantau sekarang bukan itu, tapi "apa cerita perjalanan mu di rantau?", "Kuliner di sana gimana?", "Kalo dilihat-lihat potensi pekerjaan apa yang rasanya bagus dikembangkan di sana?", "Kehidupan sosial di sana menurutmu gimana?" Itu jauh lebih menyenangkan untuk didengarkan ketimbang cerita soal punya apa di daerah rantau dan pulang pura-pura jadi orang kaya dadakan, jadi senter clas, padahal hidup di rantau belum tentu bahagia, belum tentu juga mudah, ada tuntutan hidup dan gaya hidup yang seringkali terabaikan untuk kita cermati 😁😁 Kita semestinya sudah menanggalkan pertanyaan Materialisme, tentang punya apa, ke pengalaman sosial (social experien

PEREMPUAN BUGIS DAN SEPIRING NASI KUNING-

Di kepala saya, saat menyebutkan nasi kuning, entah mengapa yang tergambar dibenak saya adalah seorang perempuan bugis dengan tangan halus menanak nasi. Entah mengapa pula, wajah seorang perempuan Bugis begitu melekat dibenak saya bila menyebut nasi kuning. Tampaknya, imaji perempuan yang halus wajahnya, yang putih kulitnya, yang merah merekah bibirnya dan hitam rambutnya-diikat ke belakang telah melekat dibenak saya. Semenjak kecil, hanya nasi kuning perempuan Bugislah yang seolah melekat seperti halnya prangko yang menempel di selembar surat. Saat membuat nasi kuning, mereka seolah memiliki resep rahasia. Di balik lembut tangan halus perempuan Bugis, terdapat rahasia masakan. Bila orang Padang membanggakan Barandang Bundonyo, dan menjadi tumpuhan kerinduaan dan kenangan bila di rantau. Maka, yang di kenang dari perempuan Bugis adalah sepiring nasi kuning. Tak begitu jelas, apakah yang memperkenalkan nasi yang berwarna kuning ke Maluku merupakan perempuan-perempuan Bugis, ataukah buka