Selain Valentijn, van der Crab dan Leonard J Andaya, tulisan-tulisan ke-Maluku-an yang menarik barangkali adalah manuskrip Paramita S Abdurachman, A.B Lapian dan R.Z Leirissa. Setelah itu, generasi berikutnya tidak banyak membuat arus sejarah lebih menarik selain pengulangan demi pengulangan yang sama.
Akademisi di kampus yang dianggap "sejarahwan" pun tak berbuat banyak, tak membuat karya yang menarik. Mereka lebih suka mengkritisi karya orang lain, membicarakannya serupa gosip, ketimbang fokus menulis sesuatu yang lebih serius yang seharusnya citra "sejarawan" menyadarkan mereka untuk membuat karya bukan gosip, ngerumpi! Sayangnya, jalan yang mereka tempuh bukan berkarya.
Barangkali, sudah saatnya dunia bergosip di akademik tak lagi hadir sebagai respon "ngehek" atas karya orang lain. Tapi lebih fokus mengurusi "pagar" karya kita sendiri. Bila diibaratkan rumah, masing-masing dari kita punya kesempatan untuk membangun rumah impian dan tak mesti saling bersinggungan karena rumput tetangga lebih hijau.
Sudah saatnya akademisi berkarya, karena satu-satunya seseorang disebut akademisi karena karya dia, karena apa yang dia perbuat, dia tuliskan, dia tuangkan sebagai karya. Seorang seniman disebut seniman karena dia berbuat karya. Seorang sejarawan disebut sejarawan karena menceritakan sejarah, menuliskan sejarah, bukan bergosip,karya orang lain!
Jadi, masih mau bergosip dari bulan pakai payong, teteruga batalor? -
------------------
Tulisan lainnya bisa kamu baca di Kompasiana, medium dan Pigurafilm
-------------------
Komentar
Posting Komentar