Langsung ke konten utama

KITA TAK PERNAH MELANGKAH SEJAK DALAM PIKIRAN SEPERTI HALNYA MUHAMMAD AL FATIH ATAUPUN WARREN BUFFETT -

Kita mungkin mengenal Muhammad Al Fatih dan Salahuddin Al Ayyubi sebagai tokoh besar Islam. Namun, berapa banyak dari kita yang mengetahui bahwa kedua tokoh ini, adalah penyuka buku-buku baik berbau sejarah, geografi dan sosial? Mereka tidak lahir begitu saja, Puan. Tidak. Mereka menghabiskan banyak waktu mereka dengan membaca. Sangat banyak. Sebelum melakukan sesuatu.

Selain dua tokoh tersebut, kamu juga bisa melihat 10 orang kaya di Amerika dengan jenis buku apa yang mereka sukai. Mulai dari Mark Zuckerberg hingga Warren Buffett, mereka para penyuka buku. Buku yang mereka baca kemudian jadi inspirasi di hidup mereka. Jadi pijakan mereka. Jadi petunjuk jalan hidup mereka dan mengubah hidup mereka. Untuk lebih jelasnya, kamu bisa baca di artikel ini (APA BACAAN ORANG KAYA DI AMERIKA SIH?)

Di Indonesia, bila kamu perhatikan orang-orang semacam Deddy Corbuzier, Raditya Dika atau Marrisa Anita, kamu akan tahu bahwa kesamaan mereka adalah sama-sama penyuka buku.

Bila Dari zaman jekpot saja, orang-orang sudah menggunakan bacaan buku sebagai jalan mereka melihat masa depan. Lah kita? Baca buku saja, ogah-ogahan. Merasa harga buku mahal. Malas baca buku lah. Baca buku cuma buat buang-buang waktulah. Cuma pengguran yang baca buku lah. Yah, jadinya begitu cara pikir kita. Cuma di situ-situ saja. Kita tak pernah maju selangkah, bahkan sejak dalam pikiran. Kita tak bisa mengubah apa-apa dari hidup kita. Kita hanya ada di satu lingkaran yang tak bisa keluar dari lingkaran kebodohan tersebut bahkan untuk sejengkal saja. 

Membaca buku bukan hanya mengubah persepsi kita, namun juga menata persepsi kita. Memperbaiki sudut pandang kita terhadap banyak hal. Kita lebih diajak merenung dan berpikir banyak hal. Kita, seolah punya teman bercerita dan rekan yang berbagai sudut pandang untuk melihat bagaimana masa depan. Bagaimana langkah kita. Bagaimana cara kita melihat dunia ini. Membaca, memberikan kita alternatif pilihan ihwal hidup yang tak hanya berada di lingkaran setan bernama kebodohan.

Lantas, masihkah kita enggan untuk membaca di saat pemilik aplikasi semacam tiktok, Zhang Yiming, sedang berencana untuk pensiun dan menghabiskan waktunya dengan membaca dan merenung? Kita ada diposisi mana sekarang? Jangan-jangan kita memang tak pernah melangkah sejak dalam pikiran seperti halnya Muhammad Al Fatih ataupun Warren? -

--------------

Tulisan yang lain bisa kamu baca di Pigurafilm, Kompasiana atau di medium.

Penulis juga seorang pemilik toko buku online di Kafeinbuku dan pedagang kopi di Kopi Sore -

--------------



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lucifer, Uang, Bank dan Hutang

Buku karya Lucifer, "Di ambang Kehancuran terbesar ekonomi: Masa lalu Uang dan Masa depan Dunia" terbitan Pustaka Pohon Bodhi, 2007. Menjelaskan bahwa dongeng 5% bunga yang telah digadang-gadang pada tahun 1024 di Inggris dengan digantikannya uang emas oleh uang kertas dan koin pada akhirnya mengubah banyak hal utamanya prespektif manusia akan alat tukar tersebut dan masa depan yang diyakini akan sedikit berbeda. Lucifer, memberitahu bahwa, saat uang kertas dan koin sudah begitu berharga. Manusia sudah begitu terbuai dan bergantung pada uang kertas dan koin, pada akhirnya, uang tersebut akan digantikan dengan bentuk uang digital. Di mana manusia, tidak lagi menggunakan uang kertas dan koin sebagai bentuk transaksi. Bagi Beta, buku yang diterjemahkan oleh Alwie pada 2007 ini cukup menarik. Setidaknya, Lucifer sedang memberitahukan sebuah informasi penting tentang masa depan akan seperti apa. Singkat kata, uang kertas dan koin akan diubah sistemnya, di mana semua itu telah dire

PULANG RANTAU DAN PERTANYAAN YANG SUDAH TIDAK RELEVAN LAGI DITANYAKAN DI ZAMAN SEKARANG -

Bila kamu pulang kampung lalu ada orang tanya ke kamu, "sudah nikah, blm?", "Kerja di mana?", "Punya rumah berapa?" "Anak sudah berapa?" Percayalah, bahwa orang yang bertanya semestinya tinggal dikisaran tahun 1980-an. Dan abadi di sana. Pertanyaan untuk orang merantau sekarang bukan itu, tapi "apa cerita perjalanan mu di rantau?", "Kuliner di sana gimana?", "Kalo dilihat-lihat potensi pekerjaan apa yang rasanya bagus dikembangkan di sana?", "Kehidupan sosial di sana menurutmu gimana?" Itu jauh lebih menyenangkan untuk didengarkan ketimbang cerita soal punya apa di daerah rantau dan pulang pura-pura jadi orang kaya dadakan, jadi senter clas, padahal hidup di rantau belum tentu bahagia, belum tentu juga mudah, ada tuntutan hidup dan gaya hidup yang seringkali terabaikan untuk kita cermati 😁😁 Kita semestinya sudah menanggalkan pertanyaan Materialisme, tentang punya apa, ke pengalaman sosial (social experien

PEREMPUAN BUGIS DAN SEPIRING NASI KUNING-

Di kepala saya, saat menyebutkan nasi kuning, entah mengapa yang tergambar dibenak saya adalah seorang perempuan bugis dengan tangan halus menanak nasi. Entah mengapa pula, wajah seorang perempuan Bugis begitu melekat dibenak saya bila menyebut nasi kuning. Tampaknya, imaji perempuan yang halus wajahnya, yang putih kulitnya, yang merah merekah bibirnya dan hitam rambutnya-diikat ke belakang telah melekat dibenak saya. Semenjak kecil, hanya nasi kuning perempuan Bugislah yang seolah melekat seperti halnya prangko yang menempel di selembar surat. Saat membuat nasi kuning, mereka seolah memiliki resep rahasia. Di balik lembut tangan halus perempuan Bugis, terdapat rahasia masakan. Bila orang Padang membanggakan Barandang Bundonyo, dan menjadi tumpuhan kerinduaan dan kenangan bila di rantau. Maka, yang di kenang dari perempuan Bugis adalah sepiring nasi kuning. Tak begitu jelas, apakah yang memperkenalkan nasi yang berwarna kuning ke Maluku merupakan perempuan-perempuan Bugis, ataukah buka