Langsung ke konten utama

ERNEST HEMINGWAY DAN KELAPARAN SEKALI WAKTU

Suatu hari saat Ernest Hemingway begitu kelaparan dan ia masih menjadi jurnalis kere, ia mencium aroma roti dan kopi di sebuah kedai sederhana. Ia tahu, bahwa kedai itu menjual roti-roti yang sangat enak, lezat dan paling enak bahkan dari aromanya saja dapat terendus dan diketahui.

Coba kamu bayangkan, bagaimana jadinya bila Ernest Hemingway tak pernah merasakan kelaparan, bagaimana ia bisa mengetahui roti yang enak bahkan dari aromanya saja dapat ditebak kelezatannya. Apa yang dialami Ernest, sebenarnya bisa menimpa siapa saja. Saat kamu berada disaat sulit, kamu akan menemukan hal-hal baru yang bahkan tak pernah terlihat dan tertutupi oleh banyak hal. Ernest dan begitupun kita, hanya menemukan dan melihat lebih jelas bagaimana hidup berjalan dengan sesuatu yang menarik.

Kita barangkali terlalu  sering kenyang, hingga kita sulit untuk melihat dengan lebih jernih. Kekenyangan membuta kita tak melihat dengan lebih detail. Ernest Hemingway, di saat lapar tersebut dapat mengetahui aroma roti panggang yang lezat dan aroma kopi di sebuah kedai sederhana dari sebuah sudut jalan. Hal itu tak akan pernah dilakukan Ernest bila seandainya, dia merasakan kenyang.

Kamu sudah siap dengan himpitan hidup yang akan mengubah cara pandang mu akan hidup? Temukan!

Ingat: Orang tak pernah merasakan nikmat kenyang sebelum merasakan kelaparan. Orang tak pernah merasakan kaya, bila tak pernah menyelesaikan jatah miskinnya.

Masing-masing dari kita pernah dan akan mengalami susah dan miskin. Ernest Hemingway pernah mengalami hal tersebut, di saat dia masih menjadi jurnalis kere, sebelum novel Ernest meledak dipasaran.

Kamu, gimana. Sudah lapar hari ini? -

------------

Tulisan lainnya bisa kamu baca di sini. Selain itu, kamu juga bisa membaca tulisan review film di Pigurafilm. Bila kamu tertarik dengan buku-buku kamu bisa memesan di Kafeinbuku -



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lucifer, Uang, Bank dan Hutang

Buku karya Lucifer, "Di ambang Kehancuran terbesar ekonomi: Masa lalu Uang dan Masa depan Dunia" terbitan Pustaka Pohon Bodhi, 2007. Menjelaskan bahwa dongeng 5% bunga yang telah digadang-gadang pada tahun 1024 di Inggris dengan digantikannya uang emas oleh uang kertas dan koin pada akhirnya mengubah banyak hal utamanya prespektif manusia akan alat tukar tersebut dan masa depan yang diyakini akan sedikit berbeda. Lucifer, memberitahu bahwa, saat uang kertas dan koin sudah begitu berharga. Manusia sudah begitu terbuai dan bergantung pada uang kertas dan koin, pada akhirnya, uang tersebut akan digantikan dengan bentuk uang digital. Di mana manusia, tidak lagi menggunakan uang kertas dan koin sebagai bentuk transaksi. Bagi Beta, buku yang diterjemahkan oleh Alwie pada 2007 ini cukup menarik. Setidaknya, Lucifer sedang memberitahukan sebuah informasi penting tentang masa depan akan seperti apa. Singkat kata, uang kertas dan koin akan diubah sistemnya, di mana semua itu telah dire

PULANG RANTAU DAN PERTANYAAN YANG SUDAH TIDAK RELEVAN LAGI DITANYAKAN DI ZAMAN SEKARANG -

Bila kamu pulang kampung lalu ada orang tanya ke kamu, "sudah nikah, blm?", "Kerja di mana?", "Punya rumah berapa?" "Anak sudah berapa?" Percayalah, bahwa orang yang bertanya semestinya tinggal dikisaran tahun 1980-an. Dan abadi di sana. Pertanyaan untuk orang merantau sekarang bukan itu, tapi "apa cerita perjalanan mu di rantau?", "Kuliner di sana gimana?", "Kalo dilihat-lihat potensi pekerjaan apa yang rasanya bagus dikembangkan di sana?", "Kehidupan sosial di sana menurutmu gimana?" Itu jauh lebih menyenangkan untuk didengarkan ketimbang cerita soal punya apa di daerah rantau dan pulang pura-pura jadi orang kaya dadakan, jadi senter clas, padahal hidup di rantau belum tentu bahagia, belum tentu juga mudah, ada tuntutan hidup dan gaya hidup yang seringkali terabaikan untuk kita cermati 😁😁 Kita semestinya sudah menanggalkan pertanyaan Materialisme, tentang punya apa, ke pengalaman sosial (social experien

PEREMPUAN BUGIS DAN SEPIRING NASI KUNING-

Di kepala saya, saat menyebutkan nasi kuning, entah mengapa yang tergambar dibenak saya adalah seorang perempuan bugis dengan tangan halus menanak nasi. Entah mengapa pula, wajah seorang perempuan Bugis begitu melekat dibenak saya bila menyebut nasi kuning. Tampaknya, imaji perempuan yang halus wajahnya, yang putih kulitnya, yang merah merekah bibirnya dan hitam rambutnya-diikat ke belakang telah melekat dibenak saya. Semenjak kecil, hanya nasi kuning perempuan Bugislah yang seolah melekat seperti halnya prangko yang menempel di selembar surat. Saat membuat nasi kuning, mereka seolah memiliki resep rahasia. Di balik lembut tangan halus perempuan Bugis, terdapat rahasia masakan. Bila orang Padang membanggakan Barandang Bundonyo, dan menjadi tumpuhan kerinduaan dan kenangan bila di rantau. Maka, yang di kenang dari perempuan Bugis adalah sepiring nasi kuning. Tak begitu jelas, apakah yang memperkenalkan nasi yang berwarna kuning ke Maluku merupakan perempuan-perempuan Bugis, ataukah buka