Langsung ke konten utama

SEBUAH PELAJARAN SEJARAH EKONOMI DARI NOVELET THE OLD MAN AND THE SEA

Setelah selesai membaca ulang, The Old man and the Sea-nya Ernest Hemingway, Beta kemudian menyadari satu hal penting, bahwa lelaki tua seperti Santiago, harus turun kelautan, melaut dan baku hantam berhari-hari dengan ikan. Dia sudah tua, lengannya digigit hiu, tubuhnya dihantam sirip ikan, dan saat berhasil pulang membawa Marlin, dia dihadiahi di mulutnya yang kata Hemingway, terasa tembaga dan manis. Dia lunglai, tertidur dan tua renta saat sampai ke gubuk reotnya.

Pada suatu ketika di dalam perahu miliknya, Santiago sempat mengenang masa mudanya yang berduel dengan ikan yang ukurannya besar-besar, dia pulang membawa ikan-ikan itu dengan mudah. Dan saat dia telah menua, rasanya, berduel dengan satu ikan saja, rasanya begitu sukar. Hidup rasanya sulit. Dan dihimpit kesuraman, kesialan.
Yang menghinggapi, Santiago nampak pula akan ditimpa oleh kita: Tua renta dan harus berduel dengan kejamnya hidup. Bila kita tidak pintar-pintar menyiapkan sesuatu sebelum usia kita menua, sudah barang tentu nasib hidup kita tak jauh berbeda dengan Santiago. Yang bukan hanya berduel dengan ikan, namun pula nasib buruk dan luka-luka di sekujur tubuh kita. Santiago adalah penjewantaan hidup. Banyak orang di luar sana, berlaku seperti halnya Santiago. Hingga pada suatu ketika, mereka dapati diri mereka, adalah orang-orang yang kalah. Yang hanya mengenang puing hidup mereka yang gemilang. Dan merana di akhir cerita hidup.

Santiago dengan segala kepedihan hidup yang ditunjukkan Hemingway, adalah nasib buruk untuk kita. Sebuah alarm yang sengaja dibunyikan, untuk bersiap sebelum umur memakan waktu kita dengan pelan-pelan. Kita terbuai dengan punya banyak uang hari ini, punya banyak tabungan hari ini, mudah mendapatkan uang, namun suatu hari, segala itu akan jadi kenangan. Apakah arti sebuah kenangan, bila hanya sebuah kenang-kenangan. Saat memasuki gubuk reotnya, Santiago tergopoh-gopoh dan mengabrukkan dirinya di atas sebuah tempat tidur reot. Dalam tidurnya, Santiago bermimpi petualangannya di Padang pasir Afrika, melihat kawanan singa lapar yang menatap dirinya tajam -


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lucifer, Uang, Bank dan Hutang

Buku karya Lucifer, "Di ambang Kehancuran terbesar ekonomi: Masa lalu Uang dan Masa depan Dunia" terbitan Pustaka Pohon Bodhi, 2007. Menjelaskan bahwa dongeng 5% bunga yang telah digadang-gadang pada tahun 1024 di Inggris dengan digantikannya uang emas oleh uang kertas dan koin pada akhirnya mengubah banyak hal utamanya prespektif manusia akan alat tukar tersebut dan masa depan yang diyakini akan sedikit berbeda. Lucifer, memberitahu bahwa, saat uang kertas dan koin sudah begitu berharga. Manusia sudah begitu terbuai dan bergantung pada uang kertas dan koin, pada akhirnya, uang tersebut akan digantikan dengan bentuk uang digital. Di mana manusia, tidak lagi menggunakan uang kertas dan koin sebagai bentuk transaksi. Bagi Beta, buku yang diterjemahkan oleh Alwie pada 2007 ini cukup menarik. Setidaknya, Lucifer sedang memberitahukan sebuah informasi penting tentang masa depan akan seperti apa. Singkat kata, uang kertas dan koin akan diubah sistemnya, di mana semua itu telah dire

PULANG RANTAU DAN PERTANYAAN YANG SUDAH TIDAK RELEVAN LAGI DITANYAKAN DI ZAMAN SEKARANG -

Bila kamu pulang kampung lalu ada orang tanya ke kamu, "sudah nikah, blm?", "Kerja di mana?", "Punya rumah berapa?" "Anak sudah berapa?" Percayalah, bahwa orang yang bertanya semestinya tinggal dikisaran tahun 1980-an. Dan abadi di sana. Pertanyaan untuk orang merantau sekarang bukan itu, tapi "apa cerita perjalanan mu di rantau?", "Kuliner di sana gimana?", "Kalo dilihat-lihat potensi pekerjaan apa yang rasanya bagus dikembangkan di sana?", "Kehidupan sosial di sana menurutmu gimana?" Itu jauh lebih menyenangkan untuk didengarkan ketimbang cerita soal punya apa di daerah rantau dan pulang pura-pura jadi orang kaya dadakan, jadi senter clas, padahal hidup di rantau belum tentu bahagia, belum tentu juga mudah, ada tuntutan hidup dan gaya hidup yang seringkali terabaikan untuk kita cermati 😁😁 Kita semestinya sudah menanggalkan pertanyaan Materialisme, tentang punya apa, ke pengalaman sosial (social experien

PEREMPUAN BUGIS DAN SEPIRING NASI KUNING-

Di kepala saya, saat menyebutkan nasi kuning, entah mengapa yang tergambar dibenak saya adalah seorang perempuan bugis dengan tangan halus menanak nasi. Entah mengapa pula, wajah seorang perempuan Bugis begitu melekat dibenak saya bila menyebut nasi kuning. Tampaknya, imaji perempuan yang halus wajahnya, yang putih kulitnya, yang merah merekah bibirnya dan hitam rambutnya-diikat ke belakang telah melekat dibenak saya. Semenjak kecil, hanya nasi kuning perempuan Bugislah yang seolah melekat seperti halnya prangko yang menempel di selembar surat. Saat membuat nasi kuning, mereka seolah memiliki resep rahasia. Di balik lembut tangan halus perempuan Bugis, terdapat rahasia masakan. Bila orang Padang membanggakan Barandang Bundonyo, dan menjadi tumpuhan kerinduaan dan kenangan bila di rantau. Maka, yang di kenang dari perempuan Bugis adalah sepiring nasi kuning. Tak begitu jelas, apakah yang memperkenalkan nasi yang berwarna kuning ke Maluku merupakan perempuan-perempuan Bugis, ataukah buka