Di meja makan siang itu, saya dan ponakan saya terlibat obrolan santai menyangkut uang. Bagi ponakan saya, yang kerjanya sebagai buruh bangunan menjelaskan bahwa dia bisa mengantongi 600Ribu seminggu. Bila seandainya kita kali sebulan. Maka pendapatan dia berkisar 2,4juta dalam sebulan. Upah pendapat dia setara dengan gaji PNS. Di lain waktu, saya juga terlibat obrolan ringan dengan teman saya yang bekerja sebagai tukang cuci motor. Saya bertanya berapa upah perharinya, dia menjelaskan bahwa upah sehari bisa 120Ribu. Bila kita kalikan sebulan, kasarnya dia bisa mengantongi sekitar 3,6juta sebulan, yang sudah barang tentu pendapatnya melewati gaji PNS Ekselon 3. Nah, berkaca dari kisah dua orang tersebut, baik teman dan ponakan saya. Maka saya bertanya, berapa gaji saya sebulan. Ternyata terbilang kecil, hanya 400Ribu sebulan. Dari kacamata manapun 400Ribu itu cukup untuk hidup seminggu. Tiga minggu setelahnya, tinggal puasa dan berbukanya dengan minum air keran masjid 🤣🤣 (Ok, it's just kidding).
Dari tiga kisah keuangan di atas yang kamu baca barusan. Tentu, pendapat saya yang paling kecil. Tapi untuk membesar-besarkan hati saya, saya teringat kata-kata Financial Planner yang suka saya ikuti Instagramnya "bukan seberapa banyak uang yang didapat tapi seberapa banyak uang yang disisipkan" kata-kata itu jadi acuan saya untuk membesar-besarkan hati saya (meski dompet meringis).
PUNYA RUMAH -
Dan terjadilah, upah pendapat teman dan ponakan saya itu meski jumlahnya nauzubillah banyaknya di mata saya, toh yang menentukan bukan seberapa banyak yang didapat tapi seberapa banyak yang disisipkan. Teman saya dengan pendapatan sekitar 3,6 juta selama setahun sudah bisa membeli sebidang tanah dan rencananya uang yang dia bung tabung-tabung itu akan dia gunakan untuk biaya nikah. Sedangkan ponakan saya yang sudah nikah, Alhamdulillah dibantu pemerintah untuk membangun rumah dalam proyek rumah layak huni. Dia sudah punya tanah dan siap membangun rumah. Sedangkan saya? tentu juga ikutan, sudah punya sebidang tanah dan rencananya mau membangun rumah. Kamu tentu bertanya-tanya, bagaimana saya bisa membeli tanah dengan pendapat 400Ribu sebulan? EtssS, soal itu saya cuma mau beri wajengan. Rezeki dengan punya tanah dan punya rumah bukan perkara seberapa hebat kamu bekerja, seringkali nasib kita hanya tukaran 🤣🤣🤣 Jadi jangan iri.
TABUNGAN -
Nah, perkara yang kemudian jadi menarik adalah perkara tabungan. Ponakan saya, sama sekali tak menyisihkan tabungan. Sedangkan teman saya punya tabungan khusus yang siap digunakan kelak saat nikahan. Sedangkan saya yang gajinya setara dengan uang jajan dua hari kaum Millenials, hanya punya tabungan ala kadar. Kita bertiga bernasib tak jauh beda. Satu-satunya aset yang bisa kita bangga-banggakan, ya cuma tanah yang siap dibangun rumah itu.
KESIMPULAN.
Dari obrolan ngalur ngidul di atas, nampaknya perkara manusia itu sama, hanya numpang hidup tidur dan makan. Selebihnya, berupa pekerjaan dan upah yang didapatkan itu soal lain lagi. Di mata banyak hal, nyatanya kita cuma remehan kerupuk dan tak berarti apa-apa. Harta yang ditung hitung di atas cuma pelipur lara dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk sombong. Lah, bagaimana mau sombong, hitungan-hitungan di atas cuma di atas kertas. Faktanya, kalo hujan, teman saya sama sekali gak bisa pergi kerja, itu artinya mengurangi pendapatannya dan itu artinya dia gak dapat uang pada hari itu. Begitu pula dengan ponakan saya, yang kerjanya buruh bangunan. Lah gimana saya? Aduh, gak usah ditanya, Lur. Pernah suatu kali, gaji saya cuma 100Ribu, hal itu terjadi saat bencana alam (gempa) dan pada minggu-minggu setelahnya sedang libur saat masuk jam ngajar saya gak ada di Minggu itu, padahal Minggu depan sudah ulangan semester. Apes. Ya, apes. Hal-hal apes itu, ditambah lagi bila kamu sakit dan berhalangan tidak bisa masuk kerja.
Jadi, saran saya. Selain bersyukur. Kita gak punya apa-apa. Bersyukurlah, selagi masih bisa hidup, meski kondisi kita lagi susah -
Komentar
Posting Komentar